Photo. Zanoe Teks. Refly megalauman Hellbeyond band beraliran heavy death metal down tempo asal kota Bandung ini terbentuk pada akhir tahun 2006, ketika Aditya (vokal) mengajak Rangga (gitar) dari Nemeis, Ryan (drum) dan Irfan (bass) dari Outright, serta Lukita (gitar) dari Pitfall untuk ikut bergabung dalam project ini. Pertama kali band ini terbentuk mereka sering mengcover lagu-lagu dari Gorefest, Demoliton Hammer, Six Feet Under dan Blood Gasm. Pada akhirnya, di bulan Juni tahun 2007 mereka berhasil membuat sebuah demo yang berjudul Follower Butchery, selain itu mereka juga mecoba membuat 4way split bersama Outright, Nemesis dan Dazecortica yang berjudul “Screaming After Birt 4 way sampler” dan lagu mereka yang berjudul “Slaughter” pun masuk dalam kompilasi Brutally Sickness yang di produksi oleh ESP Records Bandung dan juga Pest Record Online Compilation Vol.5 dari Romania. Setelah mengeluarkan demo dan beberapa keikutsertaan mereka dalam kompilasi, Rangga memutuskan untuk keluar dan lebih konsentrasi dengan bandnya Nemesis. Pada bulan Maret tahun 2008, mereka kembali merekam sebuah single untuk kompilasi Bandung Death Metal "Panceg Dina Galur" yang diproduksi oleh Pieces Records. Akhir tahun 2008 mereka mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan Rottrevore Record untuk merilis sebuah full length pertama Hellbeyond. Pada proses pembuatan album ini Hellbeyond mengalami pertambahan personil, yaitu EDZ (Ex-The Cruel) untuk mengisi posisi lead guitar, jadi sampai saat ini line up Hellbeyond adalah: Aditya (vocal), Irfan (bass), Ryan (drum), Lukita (guitar) dan Edz (lead guitar). So guys! wait for their debut album, cause it's very heavy striking with aloud sound!
Echolight berawal dari sebuah keinginan untuk berkarya dan menyalurkan ide kreatifitas bermusik. Terbentuk di akhir tahun 2006 dengan formasi awal Fariz (gitar, vokal), Gega (gitar), Dito (bass), dan Fendy (drum).Setelah latihan demi latihan, mereka pun mulaimenyusun materi lagu. Mereka berempat menyadari kekurangan seorang vokalis yang berkarakter, lalu pada awal tahun 2007Rayhan Sudradjat bergabung untuk mengisi kekosongan vokal dan keyboard. Debut panggung mereka di Smiles Waterfall #4 mengisi langkah awal mereka untuk terus berkarya. Echolight sempat merilis singlepertama mereka yang berjudul “Daydream Song” dan “Falling Down”. Lagu dengan nuansa khas shoegaze/dream pop yang kental, terinspirasi dari band-band luar dan dalam yang memiliki typical genre yang serupa.
Pada akhir tahun 2007, sempat terjadi masalah dalam tubuh Echolight. Rayhan (vokal, keyboard, gitar) memutuskan untuk mundur dari band, masalah ini menyebabkan Echolight berada di era vakumnya. Dengan memulai konsep baru tanpa mengubah nama, Echolight kembali masuk studio untuk memulai dan menyusun materi baru. Sebuah konsep baru dari Echolight yaitu menjadi band instrumental (minus vokal). Mencoba untuk menyampaikan makna tanpa menggunakan sebuah bahasa verbal. “Imitasi Titik” adalah lagu awal dari sebuah perubahan Echolight, musik yang berbeda dari Echolight sebelumnya. Alunan delay dengan balutan distorsi menjadi sebuah ikon di dalam musik Echolight. Mengambil tema permasalah urban dan segala unsur-unsur didalamnya dengan isolasi emosi, amarah, kejenuhan, depresi dan khayalan. Hal tersebut menjadi latar belakang karya-karya Echolight sekarang dan kedepannya. Single mereka di tahun 2009 yang berjudul “Glare of Glowing City” dan “M.A.D (Maturity After Depression)” ini menjadi sebuah bentuk image terbaru dari Echolight. Dan sekarang formasi Echolight diisi oleh Fariz Halim (guitar), GegaDarmawan (guitar), Dito Setiasa (bass), dan Fendy Gustia, (drum)
“Saya cuma mencoba menunaikan satu persatu daftar ‘hal-hal yang saya ingin lakukan sebelum saya mati’. Kebetulan menjadi penyanyi ada di dalamnya, dan saya cinta bernyanyi. Saya akan melakukannya sampai saya nggak suka nyanyi lagi…”
Seorang perempuan kreatif yang ditularkan oleh ibunya (sekaligus sorang tokoh wanita yang paling berpengaruh dalam hidupnya) kepada Tika ini membuatnya bisa berdiri sendiri secara DIY sampai saat ini. Bersama bandnya the Dissident, kali ini Tika hadir dan membuat sebuah gebrakan dengan membuat karnaval provokatif ala Tika & the Dissidents yang mereka tuangkan dalam album “The Headless Songstress”.
Di album ini tampaknya Tika tidak bergerilya sendirian lagi?
Iya banyak bantuan, dari segi musik sekarang beramai-ramai. Tim pendukungnya juga pelan-pelan mulai tertata, meski kita sama-sama berjalan sambil belajar juga
Bisa diperkenalkan satu persatu personil band barunya?
Pemain bas kami bernama Susan (itu nama aslinya di KTP) sangat kontras dengan penampilannya yang botak, gahar dan metal. Tapi meskipun metal, dia fans beratnya Danny Elfman, dia pula yang bertanggung jawab atas nuansa horror di beberapa lagu kami. Kedua Okky, si drummer yang sangat mencintai cymbal-cymbalnya. Andai ada gelar professor untuk bidang nyelain orang, Okky pasti lulus dengan Cum Laude dan baru saja berulang tahun dan mendapat hadiah pembalasan yang memalukan dari kami semua. Luky, si pianis, fans berat Tori Amos. Dia juga punya project solo sebagai singer/songwriter. Terakhir yang baru bergabung adalah Iga, gitaris kami. Dia juga gitaris dari The Trees And The Wild dan beberapa bulan belakangan turut menjadi additional kami. Baru saja kami sunting menjadi personil tetap di the Dissidents.
Kenapa Tika & the Dissidents, kenapa tidak The Dissidents saja? Apakah Tika masih ingin menujukkan sisi solonya?
Awalnya mereka memang band pendukung Tika sejak tahun 2006. Tapi kita bikin lagu sama-sama, susah-susahnya juga sama-sama sehingga rasanya kalau pakai nama TIKA doang kok nggak bener, effortnya kan setara. Sampai album mau hampir kelar memang belum diputuskan apakah mau pakai nama band baru atau tetap TIKA saja, atau ‘TIKA & the…’ Akhirnya kita pilih yang terakhir karena kalau betul-betul berubah jadi band, misalnya pakai nama ‘the Dissidents’ saja agak melompat terlalu jauh dari proyek Solo sebelumnya.
Saya rasa konsep di album ini jauh dari album sebelumnya yang galau abis, sedangkan di album baru ini Tika tampak menunjukan kritik sosial dengan sarkasme yang nakal namun tajam. Apa yang melatarbelakangi Tika membuat album ini?
Lirik di sini adalah proses pulangnya saya ke kepribadian saya yang sesungguhnya. Gaya menulis di lirik yang sekarang ini, seperti itulah sebenarnya gaya penulisan saya sejak dulu. Di album yang sebelumnya, hidup saya memang sedang gelap gulita sehingga liriknya hanya seputar tentang kegalauan diri saya saja, hehehe. Sekarang saya lebih bersenang-senang dengan tema sehari-hari. Hal-hal ringan yang mengganjal, menjengkelkan, saya olok-olok dengan sedikit sarkasme.
Perubahan konsep musik yang terjadi dalam album terbaru ini dipengaruhi oleh band-band apa saja dan perubahannya sudah seperti apa?
Dari dulu, musik yang saya tulis dengan musik yang saya dengarkan seringkali tidak nyambung. Saya penggemar hiphop, terutama hiphop era tahun 90an, blues, doowop, soul, swing. Sedangkan musik saya nggak ke arah situ. Mungkin doowop saya masukkan sedikit di harmonisasi vocal, tapi sebatas itu saja. Influence terbesar saya ya the Dissidents. Ibaratnya mereka itu adalah gelasnya, saya jadi airnya saja yang mengikuti bentuk gelasnya. Tapi air ya tetap air, apapun bentuk gelasnya rasanya tetap air.
Apakah album ini sudah seperti apa yang Tika harapkan?
Banyak yang bisa lebih baik, terutama dari segi produksi. Okky misalnya, belum terlalu puas dan masih penasaran dengan tracking drumnya. Saya juga merasa ada beberapa lagu yang karakter vokal saya kurang pas sama lagunya tapi dari segi materi, ya begini adanya.
Pencapaian di album terbaru ini sudah seperti apa?
Alhamdulillah responnya jauh lebih positif dari yang kami duga. Baik dari respon pendengar, media, dan penjualannya. Padahal awalnya kami khawatir “Aduh ini good enough nggak ya? Ada yang beli nggak ya?” Ya normal lah, namanya juga ini album pertama saya dengan format band, begitu juga buat Okky, Susan dan Luky, ini rilisan pertama mereka. Iman dan Nikita juga baru pertama kali berperan sebagai produser dalam artian harafiah.
Siapa saja yang ikut terlibat dalam pembuatan album ini?
Produser kami dua-duanya gitaris dari jenis musik yang berbeda. Iman Fattah, dan Nikita Dompas. Beberapa aransemen dibantu juga oleh Lie Indra Perkasa. Kita mengajak beberapa musisi tamu seperti Anda, Adrian Adioetomo, Riza Arsyad. Sedangkan yang dadakan dan kami todong langsung saat lagi rekaman adalah David Tarigan dan Mondo Gascaro. Masih banyak lagi pemain strings, horn dan lainnya yang ikut terlibat.
Tahun 2008 lalu Tika sempat mengeluarkan single “Mayday” untuk memperingati hari buruh, sebenarnya apa yang ingin dicapai dari aksi rilis tersebut?
Lagu itu terjadi secara tidak sengaja saat sedang jamming di studio Doors, lalu kami bawakan saat manggung di Jakarta. Tiba-tiba ada orang Australia menghampiri saya, dia bilang temannya editor sebuah zine di Australia dan mau mengeluarkan CD kompilasi, menurutnya lagu kami cocok buat kompilasi itu. Awalnya sih saya iya-iya saja, tidak berharap banyak. Eh ternyata mereka mengirimkan uang… hahaha. Lumayan, cukup untuk rekaman satu lagu. Kami merasa perlu untuk meneruskan rejeki itu dengan membagi-bagikan lagunya secara gratisan, jadi kami bagikan di myspace saja.
Menurut Tika sendiri nasib buruh di Indonesia sendiri seperti apa?
Bicara buruh, mesti jelas dulu konteksnya. Pengertian buruh umumnya dibatasi hanya untuk buruh fisik. Misalnya pekerja pabrik, tani, bangunan. Di mata saya, buruh adalah seluruh tenaga kerja. Yang kerja di bank, guru, pramuniaga, manajer, sampai direktur dan lainnya selama dia itu bekerja untuk kepentingan orang lain demi mendapat nafkah, itu buruh juga. Yang membuat jarak justru pengkategorian tadi, jadi ada kesan “Kamu buruh, saya bukan. Kamu perlu dibela, saya yang membela, karena kamu lemah, saya kuat.” Tidak akan ada empowerment apabila kita masih menganggap ada hierarki seperti ini. Selama kita menganggap misalnya, PRT itu ya digaji segini aja udah pantas karena dia itu buruh, ya tidak akan ada perbaikan. Nah yang perlu dibongkar adalah tembok-tembok kesombongan dan inferioritas ini. Semua mesti sadar, bahwa kita saling butuh pada level yang sama. Saat kita menyadari hal ini, kita jadi lebih menghargai orang lain apapun profesinya. Bos menghargai pegawai. Pegawai juga menghargai bos.
Ok, selanjutnya. Siapa yang nulis lirik di album ini?
Saya sendiri sih, kecuali lagu “Tentang Petang” itu puisikarya sahabat saya Ika Vantiani
Proses penciptaan lirik dalam album ini seperti apa?
Biasanya saat lagi nyari-nyari nada muncul satu kalimat, dari kalimat itu muncultema lagu. Baru deh ditulis liriknya, biasanya nulis lirik finalnya 15 menit sebelum take vocal. Hahaha. Lucunya ada lagu yang sudah dibuat sejak 2006-2007, dan sering dibawain manggung, tapi setiap manggung liriknya masih freestyle tergantung mood di saat itu hahaha.
Biasanya dalam keadaan mood seperti apa yang bisa membuat Tika produktif membuat lagu?
Mood bagus jadinya lagu ceria, mood jelek jadinya lagu sedih… hahaha. Biasanya saat jamming-jamming di studio sama anak-anak tau-tau sudah dapat lagu. Juga pada saat saya terjebak kemacetan di mobil. Banyak juga yang tercipta di tol Cipularang, karena pada saat itu saya sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Saya rekam pakai apa saja yang ada, HP kadang-kadang. Setelah itu baru dikulik bareng anak-anak.
Masih ada unsur galau yang dimasukan dalam album ini?
Kata orang-orang sih begitu, unsur darknya masih ada. Saya sih nggak sengaja. Hahaha
Keadaan sosial seperti apa yang Tika harapkan dalam pemerintahan sekarang?
Saya tidak bisa membuat rancangan dunia yang sempurna sebab apapun jawaban saya akan terdengar sangat utopis. Tapi mungkn begini, sedikit banyak kita masyarakat yang secara tidak sengaja sudah terbentuk menjadi masyarakat yang swadaya karena impotensi pemerintah. Jadi lebih baik memberdayakan diri sendiri dengan berpikir global dan beraksi dalam lingkup lokal.
Apa saja pencapaian yang ingin didapatkan selama Tika berkarir?
Saya cuma mencoba menunaikan satu persatu daftar ‘hal-hal yang saya ingin lakukan sebelum saya mati’. Kebetulan menjadi penyanyi ada di dalamnya, dan saya cinta bernyanyi. Saya akan melakukannya sampai saya nggak suka nyanyi lagi. Tapi daftar saya nggak hanya jadi penyanyi saja, masih banyak yang belum dijajal.
Selama berkarir apakah Tika merasakan ketidaknyamanan?
Pastinya. Ada satu titik jenuh dimana saya merasa, ini kok nggak bikin saya senang lagi ya? Maka saya berhenti, ternyata pause itu emang perlu untuk semacam re-charge. Karena saat ditengah pause itu baru saya menemukan semangat lagi untuk bermusik
Hal-hal apa saja yang membuat Tika tidak merasa nyaman?
Banyak. Mood swing saya itu parah sekali, yang paling sering adalah kalau salah panggung, saya memang bukan entertainer sejati sih. Mungkin entertainer sejati kalau dikasih panggung apa saja pasti bisa menghibur. Kalau saya, melempem hahaha. Paling canggung saat manggung di tengah-tengah mall, rasanya pengen buru-buru turun.
Femme Fatale di mata Tika seperti apa?
Saya sendiri tidak tahu persis definisi Femme Fatale yang akurat. Tapi yang terpikir oleh saya adalah perempuan yang tahu persis apa yang dia inginkan, dan bisa mendapatkannya tanpa harus memanipulasi orang lain.
Tokoh wanita yang paling berpengaruh dalam karir dan keseharian Tika?
Akan terdengar sangat klise, tapi jawaban jujurnya adalah ibu saya (perempuan luar biasa). Beliau tangguh, tapi juga sangat lembut. Di kantor dia memimpin ratusan karyawan, di rumah ya dia ibu sekali. Ibu saya juga menularkan kebiasaan crafting dan DIY sejak saya kecil, berprakarya itu cara kita menghabiskan akhir pekan. Beliau juga terampil sekali dengan perkakas, koleksi perkakasnya lengkap, mau obeng atau mata bor ukuran apa saja, tang model apa saja, dia punya semua. Hehehe.
Sebagai seorang perempuan, pandangan Tika terhadap aliran Feminisme di Indonesia seperti apa?
Term feminisme sudah sama rancunya dengan term Indie. Hahaha. Karena banyak persepsi dan metodenya, yang garis keras memperjuangkan hak perempuan dengan tangan mengepal, ada juga yang memperjuangkan kesetaraan dengan cara yang lebih merangkul. Saya pribadi lebih prefer yang kedua, sebab yang perlu diberdayakan kan perempuannya dan yang harus dirombak itu mental inferior perempuan. Kalau kita sebagai perempuan mampu menunjukkan bahwa kita setara, dalih apapun juga dengan sendirinya tersangkal. Meski saat orang-orang fanatik sudah pakai dalih agama yang mereka interpretasikan sesuai kebutuhan sendiri, itu sih emang ngeselin. Mau diajak bicara logis juga kalau orang sudah fanatik, sudah tidak jalan logikanya. Tapi sekali lagi balik ke perempuannya, kalau semua perempuan menyadari kesetaraan kita dan tidak ada yang mau diinjak-injak, mereka mau nginjak apa?
Hal apa saja yang sudah Tika lakukan untuk kehidupan bersosial?
Hihihi. Cukup membingungkan pertanyaannya. Apa saja yang sudah saya lakukan untuk kehidupan bersosial? Ya menjadi bagian dari kehidupan bersosial tersebut… hehehe. Semua orang sedikit banyak pasti pernah punya pengaruh sekaligus dipengaruhi oleh sosialisasinya dengan manusia lain selama hidupnya. Sayangnya saya tidak mencatat semua proses sosialisasi saya sejak lahir sampai sekarang. Jadi agak susah juga jawabannya.
Apabila harus memilih jadi seorang menteri, mau ditunjuk jadi menteri apa? Alasannya?
Ga mau. Hahaha... Semoga omongan ini bisa saya pegang sampai akhir hidup saya.
“Akan saya simpan majalah ini sampai tua. Kalau suatu hari nanti saya tergiur menjadi seorang menteri, saya akan baca lagi untuk mengingatkan.”
Menurut Tika, dengan sistem pemerintahan sekarang apakah bangsa ini akan mengarah ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya?
Yang perlu dijaga dirusak, yang perlu dirusak dijaga. Bagaimana menurut anda? Hahaha. Miris.
Social Scenedicate, is a media who want to contribute to the movement of the independent scene "so called Undergorund" in the homeland, and the city of Bandung in particular. There is no special pattern within the body Social Scendicate, but we try very hard to provide as complete information to a wide audience for our information can be spread evenly.